TIMES PURWOREJO, JAKARTA – Brave Pink–Hero Green Movement yang akhir-akhir ini viral berseliweran di linimasa media sosial bukanlah sekadar tren estetika digital. Ia bukan fenomena sesaat yang mengandalkan tagar trending atau gimik visual. Gerakan ini lahir dari kisah nyata, dari jalanan, dari dua sosok sederhana yang sama sekali tidak punya panggung politik.
Ibu Ana, seorang perempuan berjilbab pink, berdiri tak gentar menggenggam tongkat kayu dengan bendera Merah Putih berkibar menghadang aparat yang berusaha untuk memukul mundur massa aksi. Potret itu menyebar, membakar emosi kolektif, dan melahirkan simbol “Brave Pink”.
Sedangkan, Affan Kurniawan, seorang driver ojek daring (ojol) berjaket hijau, meregang nyawa di tengah kericuhan. Namanya kemudian disematkan publik sebagai “Hero Green” simbol pengorbanan rakyat kecil.
Dua figur tanpa jabatan, tanpa privilese, tanpa sorotan media sebelumnya. Tetapi, justru mereka yang mampu menyulut solidaritas luas. Akhirnya, lahirlah simbol perlawanan rakyat kecil yang kini viral dengan tagline Brave Pink–Hero Green.
Ketika Simbol Rakyat Dituduh Manuver Tunggangan Politik
Namun, seperti biasa, ketika sebuah simbol rakyat mulai menguat, tuduhan pun segera datang. Ada yang menyebut gerakan ini sekadar bungkus politik. Ada yang menuduhnya kendaraan untuk mendongkrak nama tokoh tertentu. Bahkan, ada pula yang menuduhnya provokasi.
Tuduhan ini dipicu oleh rekaman Bu Ana. Di satu momen ia bersuara soal rakyat yang kelaparan. Di momen aksi demonstrasi yang lain, Ibu Ana lantang melontarkan hinaan pada Presiden Prabowo dan menyerukan nama Anies Baswedan sebagai pengganti Presiden RI saat ini. Potongan-potongan video tersebut segera dijadikan amunisi untuk mereduksi makna Brave Pink.
Pertanyaan mendasar pun muncul: Apakah simbol rakyat harus mati hanya karena individu yang melatarinya pernah melontarkan kata-kata kontroversial?
Simbol Tidak Sama dengan Individu
Brave Pink bukanlah produk kata-kata Bu Ana. Ia lahir dari gambar yang menyentuh seorang ibu, berjilbab pink, berdiri di garda terdepan dengan bendera Merah Putih berhadapan langsung dengan aparat. Visual itulah yang membuat publik tergerak, bukan pernyataan politik sesaat.
Hero Green pun demikian. Ia tidak lahir dari slogan, melainkan dari duka kolektif: seorang pekerja keras yang meninggalkan keluarga karena tragedi. Jaket hijau ojol yang terakhir almarhum kenakan saat bekerja sekaligus berpulang ke Rahmatullah menjadi simbol harapan sekaligus duka dan kehilangan.
Dalam psikologi sosial, Herbert Blumer dalam teori interaksionisme simbolik menjelaskan bahwa makna tidak melekat otomatis pada individu atau objek. Makna lahir dari interaksi sosial dan tafsir kolektif. Meski Bu Ana punya ucapan kontroversial, publik menafsir Brave Pink sebagai keberanian rakyat kecil. Makna itu sudah lepas dari individu, menjadi milik bersama.
Suara Rakyat Selalu Jamak
Setiap gerakan rakyat selalu penuh warna. Ada yang emosional, rasional, ataupun hening tapi bermakna. Menyempitkan makna Brave Pink–Hero Green hanya pada satu kalimat provokatif adalah penyederhanaan yang menyesatkan.
Solidaritas digital jutaan orang mengganti foto profil dengan warna pink–hijau bukan tindak lanjut dari pernyataan politik Bu Ana. Ia lahir dari rasa bersama: ada seorang ibu yang berani berdiri, ada seorang pekerja yang gugur. Itu jauh lebih kuat ketimbang teriakan sesaat.
Sosiolog Émile Durkheim menyebut momen ini sebagai collective effervescence ledakan energi bersama yang membuat individu merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Publik terhubung bukan karena tokoh, melainkan karena rasa yang sama: keberanian dan duka.
Sejarah menunjukkan, gerakan rakyat kerap bertumpu pada simbol sederhana. Reformasi 1998 misalnya, bukan hanya tentang runtuhnya Orde Baru, melainkan juga tentang citra mahasiswa berjaket kuning yang berdiri di tangga gedung DPR. Arab Spring 2011 ditandai oleh gambar seorang pedagang buah Tunisia, Mohamed Bouazizi, yang membakar diri sebagai protes.
Simbol-simbol itu bekerja karena mereka melampaui kata-kata. Mereka berbicara lewat visual, lewat emosi, lewat resonansi kolektif. Alur Brave Pink–Hero Green Movement bergerak di jalur yang sama yakni sederhana, emosional, dan menyatukan.
Bias, Stigma, dan Upaya Mereduksi
Mengapa tuduhan politik begitu cepat diarahkan pada gerakan rakyat? Dalam psikologi sosial, fenomena ini dikenal sebagai ingroup–outgroup bias. Kita cenderung melihat kelompok lain sebagai lawan, sebagai ancaman, bahkan sebagai provokator.
Bias inilah yang sering dipakai untuk menstigma gerakan rakyat. Seolah-olah rakyat kecil tidak boleh bersuara, kecuali ada “dalang politik” di belakangnya. Padahal, kenyataannya lebih kompleks.
Gustave Le Bon dalam crowd psychology menegaskan, massa tidak sekadar kumpulan individu. Mereka membentuk kesadaran baru lebih emosional, lebih simbolik, dan seringkali lebih jujur. Itulah mengapa gambar sederhana bisa lebih mengguncang kesadaran publik daripada pidato panjang elit politik.
Menjaga Makna Solidaritas
Brave Pink–Hero Green bukanlah propaganda. Ia adalah simbol solidaritas yang lahir dari keberanian seorang ibu dan duka seorang pekerja. Sekaligus penyambung lidah kolektif rakyat yang selama ini sering dibungkam.
Bert Klandermans dalam psychology of collective action memaparkan bahwa identitas bersama dan emosi kolektif adalah bahan bakar utama gerakan sosial. Ketika rasa marah, duka, dan harapan disatukan dalam simbol bersama, lahirlah gerakan yang melampaui individu.
Brave Pink–Hero Green merupakan kunci gerakan dan bukti nyata bahwa keberanian dapat lahir dari kelembutan seorang ibu. Harapan bisa tumbuh dari duka seorang pekerja. Dan keduanya bisa menyatu menjadi simbol yang menggetarkan nurani bangsa.
Risiko Kooptasi dan Hilangnya Makna
Namun, ada satu risiko besar yakni kooptasi. Sejarah juga mencatat, simbol rakyat seringkali “direbut” oleh elit untuk kepentingan politik jangka pendek. Warna, jargon, atau sosok bisa dimanipulasi menjadi alat propaganda.
Jika itu terjadi, publik akan kehilangan makna asli dari simbol. Solidaritas yang lahir dari hati bisa tereduksi menjadi sekadar strategi elektoral. Inilah yang harus diwaspadai.
Kini, tugas sebagai bentuk solidaritas rakyat dari segala stakeholders baik kalangan media, civitas akademika, dan masyarakat sipil perlu saling jaga agar Brave Pink–Hero Green tetap menjadi milik rakyat tanpa ditunggangi kelompok elit politik manapun. Bukan milik partai, tokoh, apalagi propaganda.
Pada akhirnya, pertarungan yang sesungguhnya adalah pertarungan makna. Apakah kita mau secara objektif melihat Brave Pink–Hero Green sebagai simbol keberanian rakyat kecil, ataukah sekadar menuduhnya sebagai alat politik semata?
Jika kita memilih kecurigaan, maka setiap suara rakyat akan selalu dianggap provokasi. Tetapi jika kita memilih mendengar, kita akan melihat bahwa simbol ini adalah jeritan nurani bangsa.
Brave Pink–Hero Green adalah bukti bahwa rakyat kecil masih punya suara besar, andil besar dalam perubahan sosial negeri yang lebih baik. Suara yang tidak bisa dibungkam, bahkan oleh tudingan politik murahan dengan narasi-narasi berlogika dangkal sarat akan logical fallacy.
Belajar Mendengar Nurani
Gerakan ini menyadarkan kita bahwa kekuatan rakyat sering muncul dari hal-hal yang tampak sepele: jilbab pink, jaket hijau, bendera Merah Putih. Akan tetapi, di balik simbol sederhana itu, terdapat emosi kolektif yang sangat dalam: keberanian, duka, dan harapan.
Jika kita terus menstigma suara rakyat, kita akan kehilangan kesempatan untuk belajar dari nurani bangsa sendiri. Karena seringkali, kebenaran justru lahir dari mulut orang-orang kecil yang tidak punya panggung.
Apakah kita masih mau mendengar suara rakyat kecil, atau lebih memilih menutup telinga hanya karena simbol sederhana dianggap mengganggu kenyamanan politik?
***
*) Oleh : Endahing N.I. Pustakasari, Seorang Konselor, Peneliti, Statement Analyst, Mental Health and Vocational Training Program Manager YKBI Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Brave Pink-Hero Green: Bukti Suara Rakyat Kecil Tak Bisa Dibungkam
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |